Dengan berhembusnya angin reformasi yang ditandai dengan jatuhnya kekuasaan orde baru pada tahun 1998, maka berubahlah sistem pemerintahan di negara kita yang didorong oleh suara-suara dan tuntutan dari rakyat Indonesia akan pentingnya pembagian kekuasaan antara pusat dan daerah, agar tidak terjadi kecemburuan antara Jakarta dan wilayah-wilayah yang nota benenya mempunyai potensi yang luar biasa dalam sumberdaya alamnya yang diharapkan dapat meningkatkan kesejahteraan penduduknya tetapi, yang terjadi adalah sebaliknya yaitu kekayaan alam yang terdapat di daerah dikeruk oleh pemerintah pusat dengan sistem yang berlaku saat itu, sedangkan daerah tersebut hanya kebagian sebagian kecil saja dari kekayaan daerahnya.
Tanpa adanya kewenangan tersebut maka layaklah jika otonomi daerah di Indonesia disebut sebagai otonomi daerah yang setengah hati.
Sangatlah wajar apabila daerah-daerah di Indonesia menuntut adanya oto-nomi daerah, dengan kondisi alam yang sangat kaya akan sumberdaya alam, seharusnya penduduk/rakyat Indonesia mempunyai kesejahteraan yang tinggi. Sa-lah satu kekayaan Indonesia adalah hasil hutan, menurut data dari FWI/ GWI tahun 2001 hutan di Indonesia merupakan yang terluas dan terkaya keanekara-gaman hayatinya di dunia. Meskipun luas daratan Indonesia hanya 1,3 persen dari luas daratan permukaan bumi. Namun keanekaragaman hayati yang terkandung di dalamnya sangat tinggi, meliputi 11 persen spesies tumbuhan dunia, 10 persen spesies mamalia, dan 16 persen spesies burung. Selain itu Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki hutan dengan keanekaragaman tertinggi di dunia. Menurut Athoillah tahun 2003 hutan di Indonesia di huni tidak kurang dari 500 spesies mamalia, 1500 spesies burung, dan 100.000 spesies tumbuhan. Kekayaan tersebut bisa dilihat dengan membandingkan kekayaan hayati hutan di paparan Sunda yang dihuni oleh 287 spesies mamalia dan 732 spesies burung, dengan hutan sebelah barat Rusia yang besarnya empat kali hutan di paparan Sunda yang “hanya” memiliki 143 jenis mamalia dan 398 jenis burung. Oleh karenanya bagi Indonesia, hutan merupakan kekayaan yang tidak ternilai harganya.(Anonymous, 2003).
Di Jawa Timur, berdasarkan data tahun 2001 menunjukkan bahwa, dari total 1.361.448 hektare ”milik” perhutani Jatim, 812.889,5 ha merupakan hutan industri, sedangkan hutan lindung ”hanya” 315.503.3 ha dan hutan suaka alam/ta-man nasional seluas 233.053,2 ha. Menilik lebih dalam lagi kondisi hutan di kabupaten Malang, luasan hutan yang dikuasai oleh perhutani KPH Malang seluas 117.946,3 ha. Bila dibandingkan dengan luas wilayah kabupaten Malang yang 334.787 ha, maka luasan hutannya mencapai 35 persen dari luas daratan. KPH Malang terbagi menjadi dua wilayah yakni Malang barat terdiri dari daerah Ke-panjen, Singosari, Pujon dan Ngantang seluas 46.175,2 ha dan wilayah malang ti-mur terdiri dari Sengguruh, Sumber Manjing, Tumpang dan Dampit seluas 71.771,1 ha. Berdasarkan kelas perusahaan, maka Jati adalah yang terluas, yakni 45,1 % ( 42.887 ha ) diikuti oleh Pinus 29,01 % ( 27.583,3 ha ) dan Damar 25,89 % ( 24.617,9 ha ). (Anonymous, 2003).
Dan ironisnya di era otonomi daerah seperti sekarang ini muncul trend konflik baru atas kuasa pengelolaan hutan yang bersifat struktural antara penguasa hutan warisan orde baru yang tidak lain adalah perhutani, melawan pemerintah di daerah sebagaimana yang terjadi di kota Batu. Pemerintah daerah merasa bahwa dirinya mempunyai kewenangan untuk mengelola hutan sebagai bagian dari pemberian otonomi daerah versi UU No. 22/99 sementara di sisi lain, Perhutani tetap berpegang pada UU Pokok Kehutanan yang memberikan wewenang penge-lolaan hutan pada perhutani (Anonymuos, 2003). Mereka para elit stuktural lebih sibuk memikirkan bagaimana mendapatkan dan meningkatkan pendapatan bagi kelompok maupun kepentingan pribadinya, tanpa memikirkan kepentingan masyarakat kecil khususnya masyarakat desa sekitar hutan dan laju kerusakan hutan di wilayah kekuasaannya yang semakin hari semakin mengkhawatirkan, sedangkan bencana alam yang disebabkan oleh kerusakan lingkungan hutan telah terjadi berulang-ulang.
Ternyata pemerintah sampai saat ini masih saja menutup telinga akan pentingnya konservasi hutan dengan cara bekerja sama antara pemerintah daerah dan masyarakat desa hutan yang di dalamnya terdapat kelompok tani hutan. Padahal pentingnya pemberdayaan masyarakat desa sekitar hutan telah diatur dalam Undang-Undang, Peraturan Pemerintah dan Keputusan Menteri. Karena itulah dianggap perlu untuk diadakan penelitian yang membahas peranan kelompok tani hutan dalam konservasi hutan di kabupaten Malang.
Dari penelitian ini, diharapkan pemerintah semakin memahami dan segera menindaklanjuti dengan menetapkan kebijakan yang lebih memperkuat kedudukan kelompok tani tersebut dalam keikutsertaannya dalam mengelola hutan di wilayah tinggalnya
Untuk mendapatkan file lengkap dalam bentuk MS-Word, (bukan pdf) silahkan klik Cara Mendapatkan File
atau klik disini
Untuk mendapatkan file lengkap dalam bentuk MS-Word, (bukan pdf) silahkan klik Cara Mendapatkan Fileatau klik disini
atau klik disini
Tidak ada komentar:
Posting Komentar