Gula merupakan salah satu komoditas strategis dalam perekonomian Indonesia. Dengan luas areal sekitar 350 ribu ha pada periode 2000-2005, industri gula berbasis tebu merupakan salah satu sumber pendapatan bagi sekitar 900 ribu petani dengan jumlah tenaga kerja langsung yang terlibat mencapai sekitar 1,3 juta orang. Gula juga merupakan salah satu kebutuhan pokok masyarakat dan sumber kalori yang relatif murah. Oleh karena itu, maka dinamika harga gula dalam industri gula nasional akan berpengaruh langsung terhadap laju inflasi, kesempatan kerja dalam distribusi pendapatan serta alokasi sumber daya lahan yang makin kompetitif.
Sejarah pernah menunjukkan bahwa Indonesia mengalami era kejayaan industri gula pada tahun 1930-an, produktivitas habluh 14,8 ton/ha dan rendemen mencapai 11% - 13,8%. Dengan produksi puncak mencapai sekitar 3 juta ton, ekspor gula pernah mencapai sekitar 2,4 juta ton. Kini, Indonesia merupakan salah satu importir gula terbesar di dunia dengan volume impor rata-rata sekitar 1,5 juta ton pada dekade terakhir, (Susila dan Supriono, 2006).
Program akselerasi peningkatan produktivitas gula nasional tahun 2002-2007, diharapkan produksi gula ditargetkan meningkat rata-rata 9,6% per tahun sehingga pada tahun 2007, Indonesia bisa menghasilkan 3,0 juta ton gula (Rini S., 2006).
Penurunan produksi berjalan sejak diberlakukannya Inpres no. 9 tahun 1975 dan diperparah dengan deregulasi bidang pertanian berupa UU no. 5 tahun 1992 serta Demonopoli BULOG pada tahun 1998, perlu dicegah dengan meningkatkan keunggulan daya saing industri gula (Anonim, 2004).
Produksi gula nasional, luas areal produktivitas lahan, inefisiensi on-farm dan off-farm, pergeseran areal ke lahan marginal, kebijakan pergulaan nasional dan perdagangan pasar inernasional yang sangat distorsif merupakan kemelut permasalahan industri gula di Indonesia. Berbagai alternatif solusi bersifat komprehensif dan menyeluruh yang dapat melindungi semua pihak, terasa masih jauh dari harapan padahal era liberalisasi perdagangan sungguh tidak mungkin ditolak. Kalangan fabrikan dan petani tebu bukannya tidak menyadari kalau kunci utama penyelesaian kemelut itu adalah peningkatkan produktivitas, harga pokok produksi (HPP) rendah tanpa batas. Persoalannya, mengapa produktivitas yang berdaya saing tidak kunjung terjawab, lamban, cenderung jalan di tempat? (Adig Suwandi, 2003).
Peningkatan produktivitas gula dapat dilaksanakan dengan meningkatkan hasil bobot tebu dan meningkatkan rendemen.
Diantara kedua metode tersebut, meningkatkan rendemen mempunyai nilai keunggulan karena tidak perlu meningkatkan kapasitas giling, dan efisiensi biaya tebang angkut serta biaya prosesing gula (Anonymous, 2004).
Sesuai Surat Edaran (SE) Meneg BUMN perihal Gerakan Peningkatan Rendemen Tebu, diilustrasikan bila rendemen berhasil naik 1% saja di tahun 2006, produksi gula nasional akan mengalami kenaikan 310.000 ton. Artinya jika produksi gula nasional saat ini 2,24 juta ton ditambah 310.000 maka jumlah produksi gula nasional sudah mencapai 2,55 ton. Industri gula nasional telah bangkit (Agus Pakpahan, 2006).
Peraturan Gubernur Jawa Timur No. 45 tahun 2006 tentang Petunjuk Teknis Peningkatan Rendemen Tebu di Jawa Timur, merupakan langkah lanjutan atas keberhasilan program akselerasi peningkatan produktivitas gula di Jawa Timur yang telah mampu meningkatkan areal, produksi namun belum diikuti peningkatan rendemen yang memadai.
Paradigma petani tebu rakyat, bobot sudah lama menjadi orientasi dan tolok ukur pendapatan produksi. Transfer teknologi budidaya terhambat akibat tidak dirasakan adanya perbedaan nilai tambah secara signifikan dari penerapan teknologi budidaya yang benar. Bisnis pembelian tebu serta bobot pada petani daun semakin subur menjadikan orientasi pemeliharaan dengan maksimalisasi pemupukan Nitrogen.
Salah satu hambatan ketidakpercayaan petani kepada pabrik gula adalah perhitungan rendemen atas pasok tebu rakyat. Belajar dari pengalaman hancurnya banyak usaha bisnis disebabkan karena tidak adanya kepercayaan (trust); kehormatan (respect), kebenaran menyatakan apa adanya (candor), maka kesenjangan hubungan petani tebu dan pabrik gula atas penilaian rendemen harus mendapat perhatian serius (Anonymous, 2004).
Agar program peningkatan rendemen dapat terlaksana, maka diperlukan perubahan sistem yang menghargai prestasi petani secara individual maupun pabrik gula. Untuk itu perlu dikaji formula yang dapat menilai mutu (rendemen) bahan baku tebu dan efisiensi pabrik secara lebih akurat, sehingga hubungan bisnis dan kemitraan petani - pabrik gula terjalin dengan kondusif (Anonymous, 2004)
Beberapa metode perhitungan rendemen tebu antara lain menggunakan faktor rendemen, Faktor Overal Recovery, dan Factor Eksternal. Saat ini yang umum dilakukan adalah menggunakan faktor rendemen.
Rendemen merupakan tema tertinggi dalam produktivitas dan berskala ekonomi bagi pelaku bisnis industri gula, maka ketepatan perhitungan rendemen sesuatu hal yang mendesak, sehingga kepercayaan antara pabrik gula dan petani sebagai mitra bisnis terbangun. Dari metode-metode perhitungan rendemen tersebut, apakah didapatkan hasil rendemen yang berbeda?. Dan metode manakah yang lebih bisa diterima oleh semua pelaku bisnis tebu (stakeholder) dipandang dari skala bisnis?
Untuk mendapatkan file lengkap dalam bentuk MS-Word, (bukan pdf) silahkan klik Cara Mendapatkan File
atau klik disini
Untuk mendapatkan file lengkap dalam bentuk MS-Word, (bukan pdf) silahkan klik Cara Mendapatkan Fileatau klik disini
atau klik disini
Tidak ada komentar:
Posting Komentar